KETIDAKPASTIAN HUKUM TERHADAP TENGGAT WAKTU PELAKSANAAN EKSEKUSI MATI DI INDONESIA.

 

Di dalam hukum pidana dijelaskan dalam pasal 10 KUHP tentang sanksi pidana yaitu pidana mati, penjara, kurungan, dan denda. Pasal 10A ayat 1 KUHP menyatakan pidana mati sebagai sanksi pidana terberat. Adapun pasal di dalam KUHP yang diancam dengan pidana mati seperti Pasal 104 tentang makar dengan masud membunuh presiden dan wakil presiden, Pasal 110 Ayat 1 tentang permufakatan jahat untuk membunuh presiden dan wakil presiden, Pasal 110 Ayat 2 tentang mempersiapkan dan membantu dalam pembunuhan untuk presiden dan wakil presiden , Pasal 111 Ayat 2 tentang menggerakkan permusuhan atau perang dengan negara lain atau raja, Pasal 124 Ayat 3 tentang memberibantuan kepada musuh saat terjadinya peran, Pasal 140 Ayat 3 tentang kejahatan terhadap negara sahabat, Pasal 340 tentang pembunuhan berencana, Pasal 444 tentang kejahatan pelayaran, Pasal 479k ayat 2 tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan sarana/prasarana penerbangan. Ketentuan pidana juga diatur di dalam undang-undang di luar KUHP diantaranya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer di dalam ketentuan Pasal 64 angka 1 dan 2, Pasal 65 Angka 2 dan 3, Pasal 66, 67, dan Pasal 68. Ketentuan pidana mati juga diatur di dalam Pasal 81 Ayat 3 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Menurut Penetapan Presiden No 2 tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer pelaksanaan eksekusi mati dilakukan dengan cara ditembak tepat di jantungnya. Dalam TAP Presiden No 2 tahun 1964 tersebut tidak ada penjelasan mengenai tenggat waktu menunggu pelaksanaan eksekusi mati melainkan hanya menjelaskan dalam pasal 6 ayat 1 bahwa “Tiga kali dua puluh empat jam sebelum saat pelaksanaan pidana mati, Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana mati tersebut” dan pasal 7 “Apabila terpidana hamil, maka pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan”. Kemudian dijelaskan juga di dalam SE Jampidum 3/1994 bahwa eksekusi mati “Dijalankan setelah lewat 30 hari terhitung mulai hari berikut keputusan tidak dapat diubah lagi dan Keputusan Presiden tentang penolakan Grasinya sudah diterima oleh Kepala Kejaksaan Negeri”. Namun pada praktiknya banyak terpidana yang menunggu bertahun-tahun di lapas untuk dieksekusi mati, sebagai contohnya adalah kasus terpidana narkoba di LP Wanita Bulu atas nama Merry dengan vonis mati yang telah menunggu selama duapuluh tahun. Namun belum juga dieksekusi. Hal lain menurut data dari ICJR (Institute for Criminal Justice Reform) mencatat terpidana yang telah menunggu eksekusi mati lebih dari 10 tahun sebanyak 60 pidana bahkan ada yang menunggu hampir 40th.

Ketidakpastian tenggat waktu eksekusi mati dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia karena selain terpidana mendapat hukuman mati, ia juga harus mendapat hukuman penjara sembari menunggu hari eksekusi maka secara tidak langsung terpidana mendapatkan 2 kali hukuman. Meskipun hukum pidana difungsikan untuk memberikan nestapa dan efek jera kepada para terpidana tetapi hukum juga harus menempatkan nilai dasarnya yaitu kepastian, kebermanfaatan, dan keadilan. Kepastian hukum terhadap terpidana harus dijamin dari awal putusan hingga waktu eksekusi. Dalam diskursus ilmu hukum seharusnya kepastian hukum terhadap tenggat waktu eksekusi mati diatur dalam hukum formil tidak hanya di dalam hukum materiil yaitu melalui vonis hakim saja. Hak kepastian hukum sudah diatur dalam konstitusi yaitu pada pasal 28D ayat 1 UUD 45 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Jika dilihat dari aspek psikologi ketidakpastian tenggat waktu eksekusi mati memberikan tekanan batin yang mendalam terhadap terpidana. Terpidana merasakan penyesalan atas perbuatannya, menanggung beban bertahun-tahun dipenjara, serta dihantui setiap hari oleh kematian. Tekanan mental terhadap terpidana harus dihentikan. Negara harus segera menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mengatasi permasalahan ketidakpastian hukum dalam waktu tunggu eksekusi mati yang terlalu lama atas nama hak asasi manusia. Saat ini Indonesia sudah memiliki rancangan kitab undang-undang hukum pidana dimana di dalam RUUKUHP tersebut terdapat rancangan mengenai tenggat waktu tunggu eksekusi mati bagi terpidana. Sanksi pidana mati dalam RUUKUHP TAHUN 2019 dimasukan ke dalam bagian khusus yang diatur dalam pasal 67. Dalam pasal 98 dijelaskan bahwa pidana mati diancamkan secara alternatif sebagai upaya terakhir untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dan pengayoman masyarakat. Tata cara eksekusi mati juga dijelaskan di dalam pasal 99. Sedangkan dalam pasal 100 menjelaskan waktu percobaan penjatuhan hukuman mati selama 10 tahun, jika terdakwa menunjukan rasa menyesal dan perilaku terpuji, pidana mati dapat dirubah menjadi pidana seumur hidup. Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 tahun sejak grasi di tolak bukan karena melarikan diri, pidana mati dapat dirubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden. Tidak tahu pasti kapan RUU KUHP tersebut ditetapkan sebagai UU, peraturan terkait ketidakpastian hukum terhadap tenggat waktu eksekusi mati haru segera ditetapkan untuk memberikan kepastian hukum kepada terpidana dan masayarakat luas.

Referensi:

KUHP

RUU KUHP

UUD 1945

Penetapan Presiden No 2 tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan Umum Dan Militer.

SE Jampidum 3/1994

Anjarsari, Wulan Puji. "Pengaturan Tenggat Waktu Pelaksanaan Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Indonesia." Jurnal Indonesia Sosial Teknologi 2.3 (2021): 485-494.

https://nasional.kompas.com/read/2020/06/26/23060021/icjr-60-terpidana-mati-tunggu- waktu-eksekusi-lebih-dari-10-tahun?page=all. Diakses tgl 15 Juni 2022.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merdeka Atas Diri Sendiri!

KRISIS IKLIM: Kenaikan Muka Air Laut.