Merdeka Atas Diri Sendiri!


 Pembungkaman!

 

Standardisasai menurut Wikipedia adalah proses menerapkan dan mengembangkan baku teknis berdasarkan kesepakatan berbagai pihak. Kata pihak di sini jelas tidak merujuk kepada seluruh orang. Saya heran, bagaimana seseorang bisa sedemikian rupa memiliki power untuk membentuk standardisasi dalam ranah publik, baik itu di dalam budaya, sekolah, norma, acara sosial, perlombaan, dan lain sebagainya dengan memborong sejumlah pengikut untuk mendukungnya kemudian menjadikannya sebagai patokan di dalam masyarakat. Padahal kita semua tahu konsep diciptakan selalu menguntungkan si pencipta. Lalu mengapa kita terbiasa mengonsumsi konsep-konsep orang lain dari pada mengonsumsi konsep kita sendiri?

Konsep adalah produk bahasa dan budaya tercipta dari konsep. Simplenya begini: sesorang memiliki konsep, konsep tersebut disosialisasikan kepada publik, publik meyakininya lalu menjalankan konsep tersebut dalam bersosialisasi, dari sosialisasi tersebut muncul pengalaman, dari pengalaman tersebut timbulah konsep baru lagi yaitu konsep baik dan buruk yang kemudian menjadi jurang pemisah dan mumenculkan banyak konsep-konsep baru termasuk standardisasi. Kebenaran tidak memiliki hakim yang adil di dunia ini tetapi dengan menciptakan konsep yang dibudayakan seseorang mampu menguasai banyak orang dan menyakinkan kebenarannya ke penjuru dunia dengan begitu seseorang mampu menguasai dunia melalui politiknya tersebut.

Sebagai seorang manusia yang merdeka, kita perlu merdeka berpikir, kita perlu membentuk standardisasi kita sendiri, kita perlu memiliki jati diri. Negara melalui pemimpin-pemimpinya, dunia industri melalui politiknya, dunia pendidikan melalui kurikulumnya, dan dari bermacam-macam sektor yang lainnya telah banyak mendoktrin kehidupan kita. Sejak awal kita dibentuk menjadi generasi penurut dan penerima. Manusia selalu memiliki ciri khasnya masing-masing. Apa yang diperlukan manusia satu dengan manusia yang lainnya sudah tentu berbeda, tetapi kapitalis melalui politiknya berlomba-lomba untuk menyamakannya.

Kita bisa berkaca dari politik pangan, di mana daerah dengan penghasilan singkong, sagu, dan kentang sebagai makanan pokoknya dipaksa untuk sama rata dengan menstandarkan nasi sebagai makanan papan atas melalui slogan 4 sehat 5 sempurna, al hasil kita termakan oleh politik tersebu lalu kekurangan pasokan beras. Perkembangan zaman melalui teknologi industrinya mampu menciptakan sepeda motor lalu untuk memperlancar jualannya, ia mendoktrin para pemuda yang awalnya berjalan kaki menjadi berbondong-bondong memakai sepeda motor dan menjadikan jalan kaki sebagai sesuatu yang memalukan dan enggan dilakukan. Tak hanya itu, industri fashion seolah-olah telah mendapatkan panggungnya di hadapan para pemuda. Melalui promosi oleh brand ambasador, tokoh publik, dan tokoh figure seketika tren fashion yang dianggap kekininan terbentuk dan para pemuda berbondong-bondong mengikutinya dengan dalil agar tidak ketinggalan zaman. Bagaikan terkena angin topan, pemuda terus terombang-ambing terbawa arus zaman. Lalu dari sisi mana kita mengaku merdeka jika idealis kita saja masih terjajah? Tan Malaka pernah berkata, “Idealis adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.” Namun pada kenyataannya, kita termakan oleh banyak standardisasi yang dibentuk dengan tujuan para penguasa. Kita termakan dengan standardisai cantik dengan kulit putih, bibir merah, dan rambut lurus yang jelas-jelas itu adalah strategi bisnis kosmetik oleh kaum kapitalis, standardisasi pintar dengan mendapatkan peringkat satu di kelas dengan kurikulum buatan orang lain yang telah tersaji dengan sangat rapi padahal kita semua/setiap orang mempunyai kurikulumnya masing-masing. Secara tidak langsung sekolah justru mematikan imajinasi siswa dengan menjadikannya sebagai genarasi penurut dan membungkamnya dalam peraturan-peraturan yang dibuatnya. Standardisasi adalah pembungkaman maka kita sebagai seorang yang merdeka harus tegas, kritis dalam segala situasi, dan memiliki pendirian. Dengan begitu kita menjadi berharga dihadapan diri kita bukan hanya menjadi tulang dan daging untuk diperalat bagaikan robot.

Perjuangan pemuda saat ini adalah melawan kebodohan. Namun apa itu kebodohan? Siapa yang berhak dilabeli bodoh? Hakim kebenaran di dunia ini memang tidak ada. Kebenaran tidak ada yang tunggal, tidak ada kebenaran yang absolut. Kebenaran di dunia ini bersumber dari buah pikir manusia. Mata bisa menipu, pikiran bisa keliru, dan hati tentu bisa memanipulasi, lalu bagaimana dengan data? Data pun tidak bisa dijadikan sebagai acuan kebenaran. Contoh simplenya begini: Seseoarang bernama A melakukan survey tentang bagaimana bahayanya rokok. Ia melakukan penelitian dengan memberikan rokok untuk dihisap secara terus-menerus tanpa jeda dengan responden sebanyak 10.000 orang dengan hasil data yang diterima menyatakan bahwa 90% mengalami sakit, 10% baik-baik saja. Kemudian seseorang bernama B melakukan survey yang sama dengan metode dan jumlah responden yang sama pula tetapi dengan orang yang berbeda. Hasil yang ia terima adalah 80% orang baik-baik saja dan 20% mengalami sakit.

Lalu, kita percaya dengan data yang mana? Posisi kita adalah di tengah-tengah gejolak perang data yang saling mengklaim kebenaran. Data yang didapatkan oleh si A dan si B bisa dimanfaatkan oleh segerombolan orang. Misalkan saja seseorang dengan pendapat pro si A lalu ia memiliki power yang besar untuk meyakinkan banyak orang atau lebih singkatnya adalah seoarang tokoh publik yang telah terkenal, ia mempercayai data A lalu ia sebar luaskan. Karenana powernya kemudian perkataannya diyakini oleh banyak khalayak. Sebagai seorang yang merdeka pada akhirnya hanya diri kita sendiri yang mampu kita percayai, itu sebabnya kita perlu beridealis, kita perlu tau apa yang kita butuhkan dan apa yang tidak kita butuhkan tanpa terpengaruh oleh perubahan zaman maupun perang data. Sebagaimana contoh perang data tersebut, posisi kita adalah di tengah-tengah, lalu kepada yang mana kita percaya? Jawabannya sudah tentu kepada diri sendiri. Bagaimana bisa kita mempercayai data A dan B sedangkan kita tidak diikutkan dalam survey tersebut. Kita hanya perlu mengambil kesimpulan dari data tersebut atas diri kita sendiri. Misalnya: “Terlepas dari data yang ada, rokok itu berbahaya untuk kesehatan saya jika saya menghisapnya terlalu berlebihan. Tubuh saya dan kesehatan saya hanya bisa menoleransi sehari 1 bungkus rokok.”

Intinya adalah kita tidak perlu terpengaruh dengan data-data yang beredar berhamburan, cukup kita temukan apa yang sesuai dengan kebutuhan kita dan memaknainya untuk diri kita sendiri sebab ilmu pengetahuan adalah karya manusia yang berusaha mencari kebenaran secara sistematis, logis, empiris, metodis, umum, dan akumulatif jadi tidak ada orang bodoh selama ia masih terus ingin mencari. Dalam pencarian seseorang jelas memiliki cara berbeda, tidak perlu mengikuti jalan orang lain cukup temukan jalan pada dirimu sendiri. Meskipun caramu dianggap gila, kuno, dan aneh tetapi kau merdeka atas dirimu sendiri!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KETIDAKPASTIAN HUKUM TERHADAP TENGGAT WAKTU PELAKSANAAN EKSEKUSI MATI DI INDONESIA.

KRISIS IKLIM: Kenaikan Muka Air Laut.