Cerpen: Menjemput Kematian

 


Menjemput Kematian.

 

Keramaian Bandara Internasional Soekarno-Hatta terasa sangat bising bagi seorang laki-laki intovert bernama Sandi Yulian. Ia terpaksa berada di tempat ramai itu karena menjemput saudaranya yang berasal dari Papua. Laki-laki itu terus-menerus menengok jam tangan berharap agar ia segera ke luar dari tempat bising itu. Sekitar kurang lebih 1 jam ia menunggu, saudaranya menghubunginya untuk mengabarkan bahwa ia tidak bisa sampai tepat waktu dikarenakan pesawatnya harus transit terlebih dahulu. Sandi memutuskan ke luar bandara mencari tempat sepi yang menurutnya nyaman. Ia menyandarkan tubuhnya di depan pendopo sambil menghisap rokoknya. Seseorang menepuk tubuhnya dari belakang sambil berlari, Sandi sontak meneriakinya. Namun tiba-tiba tiga orang datang menghampiri Sandi. Tiga orang itu ternyata seorang Intel yang sedang mengejar dan mengungkap kasus pengedar narkoba. Tiga orang Intel itu langsung menangkap Sandi. Sandi yang sedari tadi duduk di depan pendopo kebingungan dengan penangkapan yang dilakukan kepadanya dengan tuduhan pengedar narkoba. Rupanya Intel itu melihat jaket Sandi dengan stiker naga, di mana stiker itu menurut keterangan Intel adalah lambang dari kelompok bandar narkoba yang bernama “Nagasa”. Tidak hanya itu, rupanya Intel itu juga mengamati koper yang berada di samping Sandi, kemudian koper itu digeledah dan benar koper itu berisi sabu-sabu dengan berat 1kg. Sandi semakin kebingungan pasalnya ia tidak mengetahui sejak kapan koper itu ada. Sandi terus-terusan membela diri. Namun Intel itu tetap keras kepala. Sandi kembali mengingat orang yang tiba-tiba menepuk punggungnya tadi, rupanya orang itu yang menempelkan stiker di jaketnya dan rupanya orang tadi juga berpakaian sama dengan baju yang Sandi kenakan. Sandi tidak menyerah ia terus membela diri bahwa dirinya tidak bersalah. Namun percuma, Intel itu membawa Sandi ke rumah tahanan. Keluarga Sandi tidak mempunyai bukti-bukti yang kuat untuk bisa membebaskan Sandi, hingga akhirnya Sandi divonis dengan hukuman mati atas pelanggaran narkoba. Keluarga Sandi sangat tidak terima dengan keputusan pengadilan. Mereka tidak percaya bahwa Sandi terlibat dalam kelompok pengedar narkoba. Keluarga Sandi mengerahkan segala cara untuk menyelamatkannya dari vonis mati, sedangkan Sandi kini telah dibawa ke Nusakambangan untuk menunggu giliran dieksekusi mati. Sandi memiliki waktu seratus hari sebelum eksekusi pada dirinya dilakukan.

 

Nusakambangan, 10  Agustus

Langit muram menyaksikan hujan yang terjatuh tanpa inginnya

Ia dipaksa turun ke bumi

Seperti Adam dan Hawa yang mengejar takdirnya

Seperti aku yang menyerah pada takdir

 

Sudah genap satu bulan Sandi terpenjaran di rumah tahanan Nusakambangan. Ia hanya bisa berpasrah pada takdirnya. Selama satu bulan ini Sandi mengunci diri untuk tidak berinteraksi dengan orang lain. Menurut Sandi rumah tahanan Nusakambangan adalah penjara bagi kejahatan kelas kakap dan bodohnya dia merupakan bagian dari tahanan Nusakambangan. Sepanjang hari Sandi terus meratetapi nasibnya. Matanya sayu, tubuhnya semakin kurus, lesu, dan sama sekali tidak memiliki semangat hidup. Sempat terbesit dalam benaknya untuk melarikan diri dari tahanan, tetapi ia tahu itu percuma karena Nusakambangan merupakan lapas yang berada di pulau terpencil di mana tempat itu dikelilingi oleh hutan yang masih virgin, bahkan menurut cerita dari Sipir dulu sempat ada beberapa kali tahanan yang mencoba melarikan diri dari Nusakambangan kemudian masuk ke dalam hutan dan mereka tidak bisa kembali.

“Ah, lagian tinggal menghitung hari aku juga akan menjadi bangkai, lebih baik bangkaiku terkubur utuh daripada harus menajadi tai Harimau”, gerutu Sandi.

“Nikmati saja seratus harimu nak, atau kamu mau mati sekarang saja? Tidak ada bedanya kan, buat apa kau hidup tetapi jiwamu mati”, tiba-tiba seorang Kakek yang merupakan salah satu tahanan di sini membuyarkan lamunan Sandi. Sandi heran mengapa Kakek setua itu bisa terjebak di rumah maut ini. Kejahatan apa yang Kakek itu lakukan hingga membuat Kakek itu tervonis mati. Sandi tidak perduli dengan pikirannya. Ia langsung pergi meninggalkan Kakek itu dan mencari tempat untuk menyendiri kembali. Sungguh ia tidak ingin diganggu sedikit pun. Akhirnya Sandi tertidur, ia berminpi bertemu dengan seorang Kakek yang memakai surban putih dan seluruh pakaiannya serba putih. Kakek itu tersenyum sambil merangkul Sandi. Kakek itu berkata pelan tepat di telinga Sandi, “Sadar dan waspada”. Sesaat setelah itu si Kakek kemudian pergi meninggalkan Sandi. Sandi mengejar kepergian si Kakek. Namun tiba-tiba Kakek itu ada di belakang Sandi dan pada saat Sandi menoleh ke depan Kakek itu juga berada di depan Sandi. “Kakek itu ada 2” seketika Sandi langsung terbangun dari tidurnya. “Sadar dan waspada? apa maksud dari mimpi ini? Ah sudahlah”. Kemudian ingatan Sandi tertuju pada seorang Kakek yang tadi sempat mengajaknya berbicara, “Astaga Kakek itu”, kata Sandi dalam hati. Ia langsung mencari Kakek itu. Pandanganya tertuju pada segerombolan Napi yang sedang melaksanakan sholat berjamaah di mana ada si Kakek yang dicari Sandi sedang memimpin sholat. Sandi menunggunya sampai selesai. Kakek itu tiba-tiba menghampiri Sandi, “Ingat pesanku nak?”. Sandi langsung kaku seketika mendengar pertanyaan dari si Kakek. Mimpinya terasa nyata, dan si Kakek bukan hanya ada di dalam mimpi.

“Kakek bagaimana ini bisa terjadi?” tanya Sandi masih dengan rasa bingung.

“Semua karena kuasa Allah nak, segala sesuatu di dunia ini ada karena kuasa Allah, termasuk kita berada di Nusakambangan ini juga karena kuasa Allah, jadi kamu yang kuat ya, percayakan semua kepada Allah. Kakek tau kamu tidak bersalah, kamu orang baik nak”, ucap Kakek sambil menepuk punggung Sandi.

“Bagaimana Kakek tau kalau Saya tidak bersalah? Bahkan kita baru saja bertemu”. Namun Kakek tidak menjawab pertanyaan dari Sandi. Kakek itu mengajak Sandi untuk berkumpul dengan Napi yang lain untuk berdoa bersama. Kakek memimpin semua Napi untuk berdoa.

Selesai berdoa Sandi kembali bertanya kepada si Kakek, “Maaf Kek kenapa Kakek bisa berada di lapas mengerikan ini? Bagaimana bisa orang sebaik Kakek berada di sini?”

Kakek itu hanya menghela nafas, “Hukum di Negara ini yang paling penting siapa yang benar dan yang salah nak, tanpa melihat terlebih dahulu mana yang baik. Baik dan buruk menurut setiap orang berbeda-beda dan yang harus kamu tau kebenaran tunggal hanya milik Allah, sudah malam nak istirahatlah”.

 

Nusakambangan, 17 Agustus

Berbahagialah orang-orang yang merdeka

Orang-orang yang jiwa dan raganya tidak terjajah

Orang-orang yang menolak tunduk pada kejahatan

Orang-orang yang mencoba melepaskan diri dari angkara

Dan berbahagialah aku dengan jiwa yang merdeka meski raga tersiksa

 

Sandi terbangun tepat pukul tiga pagi, semalam Sandi tidak bisa tidur, entah apa yang Sandi pikirkan. Ia memutuskan untuk membuka buku catatannya dan menuliskan sesuatu di bukunya. Sandi tidak sengaja mendengar percakapan Sipir bahwa sebentar lagi salah satu dari tahanan akan dieksekusi. Sandi mencoba mengintip sambil pura-pura tidur. Sipir itu membangunkan salah satu tahanan sekitar pukul tiga pagi. Mata dari tahanan itu ditutup dengan kain hitam, tangannya diborgol kemudian Sipir membawanya berjalan ke luar. “Mau dibawa ke mana orang itu?” tanya Sandi kepada dirinya sendiri. Namun tiba-tiba Kakek itu menjawab, “Ia dibawa ke sebuah hutan dan ia akan ditembak hingga mati di sana lalu Sipir akan membawa jasadnya dan menguburkannya di tempat pemakaman para tahanan yang sudah dieksekusi mati”. Sandi semakin ketakutaan mendengar ucapan dari si Kakek.

“Harus sepagi ini kah eksekusinya, bahkan ia belum sempat menyelesaikan mimpinya semalam. Mereka dibangunkan untuk ditidurkan selamanya, ah apakah nasibku juga akan berakhir seperti itu?” Kakek yang tidak pernah mau memberikan identitasnya itu tersenyum, “Bagaimana nasibmu itu tergantung takdirmu nak dan yang harus kamu tahu, semakin kamu berusaha menghindari takdirmu kamu justru menuju takdir itu sendiri. Nak sudah pagi ayo bersiap-siap kita sholat shubuh berjamaah”. Lagi-lagi Kakek itu memotong pembicaraan ketika arah pembicaraan itu sudah mulai serius, si Kakek tidak ingin Sandi bertanya-tanya lebih jauh lagi. Sandi mengikuti si Kakek. Seusai sholat Sandi merebahkan tubuhnya di atas sajadah. Pandangannya mengarah ke seorang tahanan berbadan besar, kekar, dan tubuhnya dipenuhi tato. Namun tahanan itu rupanya sedang menangis sambil memandangi foto seorang gadis cantik.

Sandi menghampirinya, “Kenapa, Bro?”

Tahanan itu menceritakan semuanya kepada Sandi bahwa kondisi anak gadisnya semakin memprihatinkan dan sampai sekarang belum mendapatkan biaya untuk oprasi anaknya.

“Mohon maaf, kalau boleh Saya tahu kenapa Anda bisa berada di sini?” tanya Sandi. Napi itu menjelaskan bahwa ia berada di tahanan ini karena terlibat dalam pengedaran narkoba karena ia butuh banyak uang untuk pengobatan anaknya sehingga ia nekat hingga akhirnya ia mendekam dan akan segera dieksekusi mati. Sisa umurnya sekarang tinggal 10 hari lagi sebelum akhirnya ia dieksekusi mati. Sandi begitu hancur mendengar ceria dari Napi itu. Ia tidak menyangka sebegitu besar pengorbanan seorang ayah untuk anaknya. Pandangan buruknya tentang orang-orang penghuni lapas Nusakambangan kini berubah semenjak kejadian-kejadian yang ia alami sendiri di lapas Nusakambangan. Sandi ingin sekali membantu Napi itu tetapi ia bingung harus melakukan apa.

“Begini, Anda kasih tau alamat rumahmu nanti kalau ada kesempatan Saya janji akan mengusahakan untuk menyelamatkan anak Anda. Kalau soal uang Saya ada, tetapi Saya tidak tau bagaimana caranya untuk memberitahukan itu kepada orang di rumah Saya”, Jelas Sandi begitu menyesal karena tidak bisa berbuat banyak untuk membantu Napi itu.

“Serius? Anda mau membantu Saya, jika benar Saya tahu caranya”, jelas Napi itu.

“Katakan saja, pasti akan Saya usahakan”.

“Begini, pak. Saya sering minta izin kepada Sipir untuk mengirim surat kepada anak Saya, mungkin Anda bisa melakukan itu juga”, jelas Napi dengan begitu memohon.

“Baik, mari kita tulis sekarang, lebih cepat lebih baik”.

Surat itu akhirnya dikirim kepada Ayah Sandi. Sandi meminta Ayahnya untuk membawa anak dari si Napi itu agar dirawat di rumah sakit sampai sembuh.

 

Jakarta, 26 Agustus

Selamat pagi Sandi kebanggan Ayah. Ayah tidak tau harus berkata apa, Ayah telah kehabisan kata-kata. Ayah tidak sanggup menulis terlalu banyak. Ayah tahu betul hari-harimu begitu berat, tetetapi Ayah bangga denganmu, dalam kondisimu saat ini kau masih menyempatkan waktu untuk membantu orang lain.

Sandi di sini langit begitu cerah, setiap sore Ayah mengunjungi bukit di samping rumah yang sering kali kau kunjungi hanya untuk melihat awan-awan indah kesukaanmu, Ayah juga mengabadikannya untukmu. Ayah tau kamu di sana tidak bisa melihatnya. Ayah juga kirimkan foto anak dari teman kamu. Anak itu sudah sehat dan sekarang dia juga sudah Ayah sekolahkan.

Nak Ayah ada pesan kepadamu, suatu hari saat waktu itu tiba, kamu harus pergi ke dalam hutan dan ketika kamu kebingungan arah, kamu cari simbol “TBS” kemana pun arahnya kamu ikuti nak.

Ayah bangga denganmu!

 

Seminggu kemudian, sebuah surat dari Jakarta sampai ke lapas Nusakambangan. Surat itu adalah balasan dari ayah Sandi lengkap dengan foto-foto gadis cantik anak dari Napi yang bernama Yanto. Sandi langsung memberikan foto gadis itu kepada Yanto. Raut wajah Yanto begitu bahagia memandangi gadis cantiknya yang kini sudah bisa sekolah dan nampak begitu sehat. Yanto bersujud di kaki Sandi sebagai ucapan terima kasih. Sandi memeluk Yanto, “Saya tidak menyangka hatimu tidak sekokoh tubuh kekarmu Yan, hatimu begitu tulus. Saya banyak belajar dari kamu, selama ini Saya telah berperasangka buruk kepada orang-orang dengan tampang sepertimu. Tidak hanya denganmu bahkan Saya telah berprasangka buruk kepada para Napi yang lain. Saya pikir orang-orang di sini adalah orang-orang jahat, ternyata Saya salah. Tidak selamanya noda tidak bisa dibersihkan. Pada dasarnya setiap orang itu baik. Ia hanya dihadapkan dengan keadaan-keadaan yang sulit dan kemudia ia salah memilih jalan ke luar, sama sepertimu yang terpaksa memilih jalan haram ini demi anak kamu”.

“Terima kasih Sandi, sekarang jika harus dieksekusi Saya bisa mati dengan tenang, Saya sudah tidak kwatir lagi, nanti jika Saya diberikesempatan bertemu Tuhan, Saya pasti akan memintanya untuk menyelamatkan hidupmu, hehe”. Sandi senang kini Yanto sudah bisa tertawa meskipun di dalam hati sebenarnya berdarah meratetapi hidupnya yang tinggal beberapa hari. Namun ia mencoba untuk tegar di hadapan Sandi sebagai ucapan terima kasihnya kepada Sandi.

“Simbol TBS apa San?”, tanya Yanto. Sandi pun tidak mengerti apa yang Ayahnya katakan.

“TBS itu simbol yang Ayah buat untuk keluarga kami kalau suatu saat kami hilang, tetapi Saya tidak tau maksudnya apa, bahkan Saya tidak sedang hilang”.

“Berarti Ayahmu ingin kamu hilang, oh Saya tahu Sandi, Ayahmu ingin kamu melarikan diri ke dalam hutan saat eksekusimu tiba dan kamu diminta untuk mengikuti simbol tersebut”, jelas Yanto.

“Ah Ayahku tidak senekat itu Yanto, mari kita makan, sudah waktunya untuk makan”. Sandi pun pergi. Namun ia masih kepikiran dengan kata-kata dari Yanto, bahwa Ayahnya ingin Sandi melarikan diri ke dalam hutan. “Apakah Ayah ingin menyelamatkanku? Bagaimana jika ternyata itu salah dan aku justru terjebak di dalam hutan belantara itu?”.

 

Hutan Nusakambangan.

Ayah Sandi sudah siap berangkat ke Nusakambangan membawa peralatan-peralatan yang ia gunakan untuk bertahan hidup di hutan Nusakambangan. Sebelumnya Ayah Sandi sudah mencari banyak literatur tentang keadaan hutan Nusakambangan. Ia juga telah menyiapkan kemungkinan-kemungkinan yang akan ia hadapi di sana. Berbekal tekat yang sangat kuat Ayah Sandi berangkat ke Nusakambangan. Tanoto Ayah Sandi mulai memasuki hutan belantara itu, ia dengan teliti memasang tanda “TBS” di setiap jalan yang ia lewati. Tiba di tengah hutan Tanoto mulai membuat bivak untuk beristirahat. Ia memastikan bahwa Sipir tidak akan mencari tahanan yang kabur sejauh tempat Tanoto mendirikan bivak. Tanoto mulai menanam tanaman-tanaman yang bisa ia gunakan untuk bertahan hidup di dalam hutan. Ia juga mencari sumber air untuk minum sekaligus untuk mandi. Tanoto setiap harinya menyusuri hutan agar ia lebih paham mengenai sudut-sudut di hutan Nusakambangan itu, meski pun ia sering dihadang oleh binatang-binatang buas tetapi Tanoto tergolong ahli dalam menjinakan binatang-bianatang buas. Ia juga mencari tahu di mana tempat eksekusi mati para tahanan, sehingga ia lebih mudah dalam memberikan simbol-simbol agar mudah dipahami oleh Sandi.

 

Tiba waktu eksekusi

Sama dengan tahanan yang lainnya, Sandi pun dibangunkan di tengah malam, kemudian matanya ditutup kain hitam lalu dibawa ke dalam hutan untuk dilakukan eksekusi. Sepanjang jalan Sandi terus menangis mengenang masa-masa semasa hidupnya. Ia tak henti-henti berdoa, memohon keslamatan kepada Tuhan meskipun ia tahu sebentar lagi nyawanya melayang. “Tuhan dari dulu Saya percaya bahwa sesuatu bisa datang di menit-menit terakhir, dan sekarang tolong sekali lagi buat Saya percaya”, seolah-olah Sandi sedang berdialog dengan Tuhan.

Angin malam menembus ke dalam kulit Sandi. Dinginnya menyelimuti rasa takut yang Sandi rasakan. Sandi meminta izin untuk buang air sebentar. Sipir itu pun membuka penutup di mata Sandi. Sandi melihat tulisan “TBS” di batang pohon. Sandi pun langsung berlari menjauh dari Sipir dan mengikuti arah simbol tersebut. Namun ternyata Sipir itu mengetahui simbol yang Ayah Sandi buat, sehingga Sipir itu pun berhasil menemukan Sandi. Sandi akhirnya terkepung oleh para Sipir. Sandi akhirnya diikat di salah satu pohon besar dekat dengan tempat pengepungan Sandi. Sandi berteriak memanggil-manggil Ayahnya. Mendengar suara Sandi, Ayahnya pun menemui arah suara itu berasal.

“Sandi”, teriak Ayah Sandi mencoba menyelamatkan anaknya. Namun para Sipir menarik Ayahnya dan mengikatnya di pohon juga agar tidak berbuat nekat. Sipir itu juga menutup kedua mata Ayah Sandi agar ia tidak melihat langsung kematian dari anaknya.

“Tunggu.... Jangannnnnn”, saat Sipir akan menembak jantung Sandi, tiba-tiba seorang Kakek berteriak menghentikan eksekusi. Mendengar suara dari si Kakek para Sipir pun berhenti.

“Ada apa Kek”, tanya Sipir.

“Anak ini tidak bersalah, ia adalah korban salah tangkap dan pelaku yang sebenarnya sudah berhasil ditangkap. Untung saja nyawa anak itu masih terselamatkan”, Kakek menghela lega.

“Kakek kenapa ada di sini?”, tanya Sandi heran.

“Kakek ini Intel yang mengusut kasus pengedar narkoba”, jelas Sipir. Sipir akhirnya melepaskan Sandi dan Ayahnya. Mereka kemudian saling berpelukan. Ia meminta maaf kepada Sandi dan Ayahnya. Ayahnya mungkin memaafkannya. Namun setelah berita ini viral sejumlah aktivis tidak terima karena kesalahan ini diaanggap sebagai tidak bekerja baiknya aparatur kepolisian dan kejaksaan atau tidak tersedianya pembela hukum yang baik sehingga dianggap mempermainakan nyawa seseorang. Di sisi lain para aktivis juga menuntut untuk menghapus hukuman mati bagi terdakwa bandar narkoba. Menurutnya studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding hukuman yang lainnya. Kelompok abolisionis juga membantah alasan yang meyakini hubungan mati akan menimbulkan efek jera dan karena itu, akan menurunkan tingkat kejahatan terkait narkoba. Menurut mereka belum ada  bukti ilmiah konklusi yang membuktikan korelasi positif antara hukuman mati dan penurunan tingkat kejahatan narkoba. Hukuman mati untuk kejahatan narkoba melanggar HAM. Namun sejak para aktivis mengkampanyekan penghapusan hukuman mati untuk kejahatan narkoba, belum ada titik terang dari pemerintah.

 

Selesai......

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merdeka Atas Diri Sendiri!

KETIDAKPASTIAN HUKUM TERHADAP TENGGAT WAKTU PELAKSANAAN EKSEKUSI MATI DI INDONESIA.

KRISIS IKLIM: Kenaikan Muka Air Laut.