Analisis Pemberlakuan Hukum terhadap Kejahatan Lingkungan.


 

Analisis Pemberlakuan Hukum terhadap Kejahatan Lingkungan.

Permasalahan lingkungan adalah permasalahan global yang tidak mengenal sekat. Salah satu permasalahan muncul dari pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, di mana kelapa sawit sendiri memiliki sifat merusak struktur tanah hal tersebut mengakibatkan tanah tidak bisa menyimpan air sehingga terjadi kekeringan dan kesulitan air, jika hujan deras dimungkinkan dapat mengakibatkan banjir karena daya serapnya rendah. Selain itu sawit juga mengeluarkan emisi karbon dioksida yang dapat memicu pemanasan global yang mengakibatkan krisis iklim seperti mencairnya es di Kutup Utara sehingga mikroba yang menajdi es mencair, hal tersebut tentu menyebabkan beberapa penyait baru. Selain itu juga mengakibatkan naiknya muka air laut, suhu semakin panas, gagal panen dll. Hasil dari industri kelapa sawit juga mencemari air yang dapat merusak habitat sungai bahkan jika limbah berbahaya tersebut dikonsumsi oleh ikan lalu ikan dikonsumsi oleh manusia jelas hal tersebut dapat memicu berbagai penyakit bahkan kematian. Dikutik dari Jurnal Internasional Pembangunan Berkelanjutan dan Perencanaan, ada tiga contoh kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit di Indonesia, misalnya Pencemaran Sungai Sambas, Kabupaten Sambas, Barat Kalimantan; Pencemaran Sungai Rokan, Riau; dan Pencemaran Sungai Mahap, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat.

Dikutip dari Jurnal Internasional Pembangunan Berkelanjutan dan Perencanaan, kejahatan lingkungan ini kemudian disebut sebagai ekosida. Ekosida adalah kejahatan terhadap makhluk hidup, bukan hanya manusia. Namun pada kenyataannya, kedamaian ekologis ini dapat disebabkan oleh tindakan manusia, sehingga muncul klausa “Ascertainable vs Unascertainable” pada jenis-jenis ecocides menurut Higgins, Ascertainable adalah ecocide oleh manusia. Paham antroposentris membuat manusia adalah pusat dari segalanya sehingga lingkungan kerap kali menjadi sasaran pemuas dari manusia tanpa memikirkan dampak dari lingkungan tersebut karena lingkungan salah satunya tumbuhan memiliki sifat homeistetis atau bertahan dari apapun yang menderanya padahal jika disimpulkan manusia dan lingkungan adalah simbiosis mutualisme.

Belum ada solusi pasti terhadap kejahatan lingkungan yang mengancam internasional mengingat hukum dan juga geografis dari masing-masing negara itu berbeda. Bahkan untuk memenuhi emisi karbon tahunan juga belum bisa disepakati besama di seluruh dunia karena keadaan ekonomi di masing-masing negara berbeda-beda sehingga dalam menentukan suatu aturan hukum juga harus berdasarkan pada keadaan dari masing-masing negara.

Beralih ke Indonesia Tindak Pidana Lingkungan dirumuskan dalam UU NO. 32 TH 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam rumusan delik undang-undang di Indonesia terdapat 2 rumusan delik yaitu:

a. Delik materiil: Dimana perbuatan dianggap tindak pidana ketika sudah terpenuhi deliknya atau menimbulkan akibat yang terdapat dalam rumusan delik.

b. Delik formil: Perbuatan larangan yang sudah diatur di dalam UU artinya tanpa ada akibat perbuatan tersebut sudah bisa dikenakan sanksi. Ada 19 aturan yang membuat aturan tersebut. Artinya hukum Indonesia belum sepenuhnya menjunjung hak-hak atas lingkungan seperti hewan dan tumbuhan.

Subyek hukum di Indonesia adalah manusia dan lembaga atau korporasi. Namun untuk kejahatan yang dilakukan suatu perusahaan dijelaskan dalam pasal 398 KUHP bahwa seseorang terdaftar sebagai pengurus atau komisaris suatu perseroan terbatas, maskapai penerbangan Indonesia atau asosiasi perusahaan yang ikut serta. Kejahatan dikatakan dari perusahaan apabila seseorang melakukan kesalahan atas perintah kerja perusahaan, dan kejahatan dikatakan sebagai kejahatan pribadi apabila kejahatan dilakukan atas inisiatif sendiri. Namun Hal tersebut memunculkan pengkambinghitaman, di mana bisa saja perusahaan mengkambinghitamkan seseorang agar perusahaan tersebut terhindar dari hukum.

Pemberlakukan UU Omnibuslow dirasa menggambarkan bahwa pemerintah tidak konsisten dalam menangani lingkungan. Hal itu dapat dilihat dari dihapusnya pasal 40 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan perubahan pasal 76 ayat 1 yang memungkinkan diintervensi oleh otoritas yang lebih tinggi dan juga bjek Kebijakan Pertanahan Reforma Agraria dari kawasan hutan masih atas nama rakyat untuk melindungi kepentingan perkebunan kelapa sawit; Korporasi sawit juga kerap memanfaatkan celah UU No 41 Tahun 1999 jo UU 18 Tahun 2013 untuk mendongkrak laju pelepasan kawasan hutan dan penerbitan izin.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merdeka Atas Diri Sendiri!

KETIDAKPASTIAN HUKUM TERHADAP TENGGAT WAKTU PELAKSANAAN EKSEKUSI MATI DI INDONESIA.

KRISIS IKLIM: Kenaikan Muka Air Laut.