Kajian Sadar Hukum dan Kawasan Konservasi

 



BAB I

        A. Pendahuluan. 

    Pada dasarnya alam memang memiliki dua fungsi: fungsi ekonomis dan fungsi ekologis. Menurut ahli hukum, Prof. Abdullah Marlang S.H., M.H., “alam untuk manusia ini berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan ekonomis dan ekologis.” Lalu apa fungsi manusia bagi alam? Dan apa fungsi alam raya bagi manusia? Adakah jawaban yang tidak antroposentris? Manusia pasti membutuhkan alam untuk bertahan hidup, tapi apakah alam membutuhkan manusia? pada dasarnya tumbuhan memiliki sifat homoestetis yaitu dapat bertahan hidup dari apapun yang menderanya. Namun untuk meneruskan eksistensi kehidupan, dua komponen antara alam dan manusia harus saling berhubungan. Sehingga jika ditarik lagi benangnya, manusia dan alam itu suatu kesatuan yang utuh, adanya ketergantugan antar makhluk hidup dan hubungan timbal balik antara lingkungan hidup dengan manusia itu sendiri. Sebagai ucapan terima kasih kepada alam maka manusia memberikan tempat lindung untuk alam atau yang biasa kita sebut sebagai “kawasan konservasi”. 

A.1. Pengertian Kawasan Konservasi. 

    Kawasan konservasi adalah kawasan yang keberadaan bentang alam serta totalitas kehidupan di dalamnya dijaga, dan dilindungi untuk kepentingan kehidupan manusia, serta kehidupan mahluk di luar manusia itu sendiri. Peran dan fungsi kawasan konservasi berada di atas kawasan produksi, sehingga keterjagaan dan kelestarian dari pada kawasan ini perlu terus diupayakan.1 1 Pepep DW, Sadar Kawasan, (Bandung: Nusa layaran Pustaka,2020)hal.20.

    Konservasi adalah pemeliharaan dan perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnhan dengan jalan mengawetkan: KBBI. 

Falsafah yang menjadi pijakan keterjagaan kawasan konservasi salah satunya tercatat dalam bunyi dasar undang-undang konservasi, yaitu kalimat “kawasan sebagai sistem penyangga kehidupan” yang berarti keterjagaan kawasan berperan sebagai sistem tempat kehidupan dapat berlangsung. Dalam hal ini, penggunaan falsafah keterjagaan kawasan tidak berdasarkan “kawasan konservasi sebagai sistem penyangga ekonomi, dan seterusnya”. Dengan kata lain, fungsi dan peran, serta pemanfaatan dari kawasan konservasi bisa terus dirasakan manusia hanya ketika kawasan ini tetap terjaga keutuhannya.2. Dengan begitu segala upaya eksploitasi kawasan konservasi tidak bisa dilakukan secara langsung dan masif sebab pemanfaatan dari kawasan konservasi justru dapat dirasakan dari keterjagaan kawasan itu sendiri. 

    Konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan artinya kawasan konservasi merupakan konsepsi yang membangun semangat menjaga keutuhan kawasan untuk menjamin kelangsungan kehidupan yang seimbang. Oleh karena itu kawasan konservasi harus tetap dijaga keutuhannya. Kerusakan yang terjadi di kawasan konservasi dan lindung dipastikan akan menyebabkan ketidakseimbangan totalitas kehidupan. 

    Upaya menjaga keutuhan kawasan konservasi maka negara melindunginya dalam hukum. Namun kenyataan yang terjadi di lapangan jauh menyimpang dari undang-undang yang berlaku seperti pembangunan yang tidak mengedepankan faktor ekologi, pemanfaatan SDA dalam jumlah yang besar, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan kehidupan seperti: kerusakan alam, banjir, tanah longsor, kekeringan, berkurangnya SDA sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia yang tidak dirasakan secara instan. Karena pada dasarnya ekonomi selalu bertolak belakang dengan ekologi, itu sebabnya dalam pengelolaannya harus hati-hati harus melakukan modifikasi ekosistem, karena semua selalu ada konsekuensinya. (2 Ibid., halaman 21. 

A.2. Sejarah Kawasan Konservasi. 

a. Era kepercayaan kuno. 

    Peristiwa awal yang tercatat dalam sejarah perihal perlindungan alam ini terjadi pada tahun 252 SM di India, yaitu raja ke-3 dari Dinasti Maurya yang bernama Raja Asoka. Raja Asoka ini mengeluarkan aturan-aturan yang salah satunya melakukan perlindungan terhadap margasatwa. Ia melarang penyembelihan, penyiksaan sia-sia, pemburuan untuk olah raga dan hobi terhadap hewan, Ia juga membangun rumah sakit untuk hewan. Data tersebut dicatat oleh penulis Amerika bernama Norman Nelson Phelps dalam bukunya yang berjudul ‘The Longest Struggle: Animal Advocacy from Pythagoras to Peta’ terbitan Lantern Books tahun 2007. 

    Di Arab pun dikenal sebuah kawasan untuk melindungi margasatwa. Kawasan tersebut dikenal dengan nama ‘Hima’. Kawasan ini subur dan banyak habitat flora dan fauna tertentu yang saat ini kita kenal sebagai ‘Oasis’. Oasis-oasis pada zaman itu beberapa ditunjuk sebagai hima, sehingga tidak sembarang masyarakat Arab mengeksploitasinya. Mulanya hima digunakan untuk kepentingan beberapa suku, tetapi setelah Islam turun, hima menjadi sebuah tempat perlindungan hewan dan tumbuhan. 

    Di Indonesia sendiri juga mengenal sadar kawasan atau kawasan konservasi seperti yang telah dilakukan oleh nenek moyang Indonesia seperti jika dilihat dari contoh-tontoh bagaimana masyarakat adat Nusantara memperlakukan alam, dari Papua dengan te aro neweak lakonya, Serawai - Bengkulu, dengan konsep celako kumali. Dayak Kenyah, Kalimantan Timur, dengan tana‘ ulen, hingga kebudayaan masyarakat Bali dan Lombok, dengan awig-awig-nya, pada dasarnya manusia Nusantara 4 memiliki konsep menjadikan manusia sebagai bagian dari alam di mana keseimbangan menjadi pola hidup utamanya.3 

b. Era modern. 

     Dalam bukunya, Prof. Dr. H. Abdullah Marlang, S.H., M.H. menulis bahwa Konferensi Stockholm yang digelar pada tahun 1972 merupakan cikal bakal lahirnya Badan Lingkungan Hidup Dunia di bawah bendera PBB dengan nama United Nations Environment Programme (UNEP). Ini merupakan pengaruh besar terhadap hukum lingkungan modern yang memiliki orientasi pada keseimbangan pengelolaan/pemanfataan SDA. Oleh karena itu, deklarasi tersebut memengaruhi hukum lingkungan bagi beberapa negara di dunia, salah satunya Indonesia. Dikutip dari buku yang sama, pasca peristiwa 1972 tersebut, lahirlah UU No. 4 Tahun 1982 (UULH), UU No. 23 Tahun 1997 (UUPLH), dan UU No. 32 Tahun 2009 (UUPPLH), dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan undang-undang lingkungan hidup di Indonesia lainnya, meski perihal perlindungan SDA di Indonesia pernah terjadi sejak zaman Hindia-Belanda yang dikenal sebagai Natuur Reservaat pada tahun 1714, yang terus meluas pada tahun 1889 kemudian berakhir pada tahun 1925 dan kini menjadi Taman Nasional Gede Pangrango. 

    Kesimpulannya tidak melulu dilihat dari sudut politik maupun hukum. Kawasan konservasi sudah ada dan melekat pada nenek moyang kita khususnya Indonesia. Menjaga kawasan konservsi merupakan amanat dari leluhur kita untuk terus menjaga dan mewariskan SDA kepada generasi-generasi di bawah kita. 


 A.3. Macam-macam Kawasan Konservasi. 

a. kawasan suaka alam. 

    Suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta 3 Ibid., halaman 35 ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. Kawasan suaka alam sebagai pembagian kawasan berdasarkan fungsi, di dalamnya terdapat pembagian beberapa status, di antaranya; cagar alam, cagar biosfer, dan suaka marga satwa. 4 

1. Cagar biosfer adalah suatu kawasan yang terdiri dari ekosistem asli, ekosistem unik, dan atau ekosistem yang telah mengalami degradasi yang keseluruhan unsur alamnya dilindungi dan dilestarikan bagi kepentingan penelitian dan pendidikan. 

 2. Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Dengan demikian habitat sebagai tempat, dilindungi dan dipertahankan keutuhannya untuk kepentingan jenis satwa yang hidup di kawasan tersebut. 

 3. Cagar alam. Definisi formal yang tercantum dalam UU No 5 tahun 1990 menyebutkan bahwa “cagar alam adalah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami”. Di samping definisi tersebut, dalam Pasal 17 disebutkan di dalam cagar alam kegiatan yang bisa dilakukan hanya kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. Tidak ada nomenklatur (nama dan peristilahan) terkait wisata –termasuk wisata terbatas, apalagi pemanfaatan langsung berupa hasil hutan dan pemanfaat berupa eksploitasi kawasan, baik biotik maupun abiotik. ahkan, di dalam kawasan dengan fungsi suaka alam, khususnya cagar alam, tidak hanya definisi “kerusakan” yang harus dihindari, melainkan kegiatan yang mengakibatakan perubahan keutuhan kawasan pun sangat dihindari. 4 Ibid., halaman 52. Hal tersebut dengan jelas disebutkan dalam Pasal 19 di mana pasal tersebut berbunyi; setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan.5 

b. Kawasan pelestarian alam. 

    Sebuah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.6 Beberapa kawasan pelestarian alam diantaranya: 

1. Taman wisata alam adalah kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. 

2. kawasan taman hutan raya konsep dari taman ini menawarkan wisata edukasi. 

3. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan unt6 Ibid., halaman 52uk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Selain zona wisata, di dalam kawasan Taman Nasional dikenal zona rimba dan zona inti. Zona rimba dapat digunakan untuk wisata terbatas, seperti pengamatan burung (birdwatching) dan kegiatan terbatas lainnya. Sementara khusus untuk zona inti, kunjungan hanya diperbolehkan untuk kegiatan riset. Sebagaimana halnya kawasan suaka alam, pengelola dan pemangku kawasan pelestarian alam berada di pusat melalui kementerian lingkungan hidup dan kehutanan, kecuali taman hutan raya yang juga diberikan kewenangannya pada pemerintah daerah, khususnya pemerintah provinsi. Sementara itu, taman wisata alam masih berada di BBKSDA, sedangkan taman nasional dikelola oleh Balai Taman Nasional. 5 Ibid., halaman 65 .6 Ibid., halaman 52 

A.4. Dasar Hukum Kawasan Konservasi. 

        Setelah kemerdekaan, bangsa Indonesia memilih demokrasi sebagai salah satu cara mengurus negara, sehingga berdampak pada seluruh lapisan kehidupan seperti sosial, politik, budaya, termasuk pengelolaan sumber daya alam. Hal ini diatur dalam aturan formal berupa Konstitusi, perundang-undangan, dan beberapa endapan dari adat atau kebiasaan masyarakat. 

    Setelah deklarasi stockholm selesai, Indonesia sendiri tidak melakukan ratifikasi konferensi menjadi Undang-undang. Tetapi diadopsi dengan cara memasukannya ke politik hukum nasional melalui TAP MPR tahun 74 dan 78 (pembangunan harus dilakukan secara rasional dan memasukan pertimbangan lingkungan). Kemudian 10 tahun berikutnya kita sudah mempunyai UU No 4 tahun 1982. Perkembangan perundang undangan ini diperakarsai oleh Emil Salim sampai akhirnya dikenal isitlah AMDAL. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam di mana gunung, hutan, lautan, dan totalitas kehidupannya berada, pembukaan Undang-undang Dasar tahun 1945 menjadi titik tolak bahwa Negara mengatur sumberdaya alam tersebut untuk kepentingan rakyat Indonesia. Sebagaimana bunyi Undang-undang Dasar tahun 1945 Pasal 33 yang menyebutkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”7 

    Undang-undang republik Indonesia nomor 5 tahun 1990 Tentang Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. 

Menimbang : 

a. bahwa sumber daya alam hayati Indonesia dan ekosistemnya yang mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu perlu dikelola dan dimanfaatkan secara lestari, selaras, serasi dan seimbang bagi 7 Ibid., halaman 39.8 kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya, baik masa kini maupun masa depan; 

b. bahwa pembangunan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila; 

c. bahwa unsur-unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lainnya dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem; 

d. bahwa untuk menjaga agar pemanfaatan sumber daya alam hayati dapat berlangsung dengan cara sebaik-baiknya, maka diperlukan langkah-langkah konservasi sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selalu terpelihara dan mampu mewujudkan keseimbangan serta melekat dengan pembangunan itu sendiri; 

e. bahwa peraturan perundang-undangan yang ada dan masih berlaku merupakan produk hukum warisan pemerintah kolonial yang bersifat parsial, sehingga perlu dicabut karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kepentingan nasional; 

f. bahwa peraturan perundang-undangan produk hukum nasional yang ada belum menampung dan mengatur secara menyeluruh mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 

g. bahwa sehubungan dengan hal-hal di atas, dipandang perlu menetapkan ketentuan mengenai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam suatu undang-undang. 

     Mengingat : 

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; 

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823); 9 

3. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3215); 

4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1982 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3234) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1988 (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3368); 

5. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299).8 


BAB II Rumusan Masalah. 

B.1. Pelanggaran Konservasi. 

    Jika diklasifikasikan, kerusakan dan pelanggaran di dalam kawasan cagar alam terjadi akibat beberapa kepentingan. Dari kepentingan untuk menyambung hidup mengais sesuap nasi, eksploitasi kandungan bumi, hingga kepentingan personal untuk sekadar rekreasi demi hasrat memuaskan hobi. Pada batas tertentu, kondisi pembiaran seperti ini menunjukkan seolah cagar alam “dihinakan” melebihi kawasan taman wisata alam. Kenapa demikian? Sebab untuk menikmati keindahan di kawasan wisata alam saja misalnya, pengunjung akan berhadapan dengan para penjaga kawasan, diwajibkan untuk memenuhi prosedur formal seperti surat ijin memasuki kawasan konservasi hingga membayar tiket. Sementara memasuki cagar alam yang masuk kategori melanggar aturan dan mengakibatkan kerusakan, pada praktiknya seolah dibebaskan, bahkan 8 UU RI NO 5 TH 199010 tanpa penjagaan. Kondisi tersebut terjadi, berlangsung belasan hingga puluhan tahun tanpa penanganan serius.9 

    Secara a contrario, hal tersebut dapat dimaknai bahwa kejahatan konservasi boleh dilakukan (bersifat vermogen) sepanjang tidak merusak atau mencemari lingkungan. Perbuatan tersebut baru bersifat verboden jika penegak hukum mampu membuktikan bahwa kejahatan konservasi tersebut merusak lingkungan. Alih-alih melindungi dan mengkonservasi alam, rumusan pasal yang sedemikian rupa justru menyulitkan penegak hukum dalam melakukan penegakan hukum. Sebabnya adalah penegak hukum harus juga membuktikan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan10 sedangkan kerusakan alam tidak bisa langsung memberikan dampaknya. Jauh lebih baik tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu akibatnya guna mempermudah pembuktian oleh penegak hukum. 

B.2. SK 25 CA Kamojang. 

    Pelanggaran berupa wisata di cagar alam yang dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih besar adalah kasus wisata di hutan dan danau Ciharus CA Kamojang. Dalam sebuah SK-2512 yang dikenal sebagai SK penurunan luasan CA Kamojang dan Papandayan seluas lebih dari 4000 Ha menjadi TWA, disebutkan bahwa pertimbangan diturunkannya status dan fungsi cagar alam menjadi taman wisata alam ini dikarenakan sudah banyak pemanfaatan (ilegal) dalam bentuk rekreasi terhadap kawasan tersebut. Dampaknya, setelah diturunkan menjadi TWA, kawasan ini dengan sendirinya dilegitimasi untuk dimanfaatkan langsung, dan pemanfaatan tersebut bisa melibatkan pembangunan masif sebagaimana bisa kita lihat di beberapa taman wisata alam. Dengan demikian, sebuah kawasan yang sebelumnya terlarang atas kegiatan yang bisa membuat perubahan kawasan (kerusakan) dengan diubah statusnya 9 Ibid., halaman 69. 10 Adriyanus Eryan, DKK,arah baru kebijakan penegak hukum konservasi, sumber daya hayati dan ekosistemnya, (Jakarta Selatan: ICEL, 2019), halaman 80.11 jadi taman wisata alam, berarti sederhananya, kerusakan menjadi diperbolehkan. 11 

B.3. Penurunan Status dan Fungsi Cagar Alam. 

    Pelanggaran aturan di dalam kawasan cagar alam, dari kegiatan wisata hingga pemanfaatan langsung hasil hutan yang dibiarkan terus terjadi seolah menormalisasi sebuah pelanggaran. Sehingga berbagai pelanggaran menjadi hal yang biasa-biasa saja. Situasi seperti ini membuat paradigma berpikir bahwa kawasan yang statusnya lebih longgar dari cagar alam akan lebih mudah untuk diekploitasi. Sehingga tidak heran karena kurangnya pemahaman mengenai kawasan konservasi sehingga membuat masyarakat mengekploitasi cagar alam, baik dari ekonomi besar, menengah, maupun tradisional. Situasi ini jika dibiarkan terus-menerus akan berakibat pada penurunan status dan fungsi cagar alam menjadi tempat wisata. Ekologi akan dikuasai oleh ekonomi. 

    Pada akhirnya, cagar alam harus menjadi titik tolak setiap usaha menghentikan kerusakan alam, cagar alam adalah kunci supremasi sehingga kawasan lain bisa dengan kuat dihentikan proses kerusakannya. Salah satu cara untuk memulai semua itu adalah dengan diawali dari usaha terus-menerus membicarakan dan mewacanakan cagar alam yang telah jauh terasing dari kesadaran pengetahuan masyarakat terhadap kawasan. Diharapkan, dengan diwacanakannya cagar alam yang dimulai di kalangan pegiat alam, kemudian akan diikuti selanjutnya oleh masyarakat secara umum, dengan begitu usaha penyelamatan tidak lagi menjadi usaha/gerakan komunitas, sektoral, dan terbatas di instansi tertentu, melainkan menjadi usaha dan gerakan bersama. 12 11 Pepep DW, Op.Cit., halaman 70 12 bid., halaman 73.1 


BAB III Penutup. 

C.1. Pentingnya Sadar Kawasan Konservasi. 

    Menyadari bahwa pengetahuan tentang cagar alam begitu terasing di kalangan penggiat alam (khususnya), maka sosialisasi terkait pengetahuan kawasan dirasa penting. Kampanye “sadar kawasan” mempercayai bahwa dengan mengetahui, mengenali, kita bisa mencintai alam, dan memiliki semangat untuk menjaganya. Mencintai alam sehingga ketika kita mendengar Cagar Alam Pulau Sempu di bagian pulau Jawa lainnya dalam kondisi rusak, tanpa harus menemuinya kita bisa ikut mengkampanyekan penyelamatannya, atau paling tidak berhenti mengunjunginya sebagai destinasi wisata. Ketika mendengar pegunungan Kendeng di Rembang, tanpa pernah menjejakkan kaki di atasnya, kita bisa dengan sederhana, seketika ikut mengkampanyekan penyelamatannya. 

     "Sadar kawasan” adalah usaha, ikhtiar untuk memperkenalkan gunung-gunung, hutan, dan totalitas alam beserta aturan dan ketentuan pada umumnya agar masyarakat di mulai dari para penggiat alam dapat mengenal, mengetahui, sehingga pada akhirnya mencintai alam yang menjadi sumber hidup dan kehidupan, dengan begitu diharapkan dengan sendirinya setelah mencintai kemudian muncul kesadaran untuk menjaga keutuhan dari setiap apa yang dicintainya. Kampanye “sadar kawasan” adalah usaha untuk mengembalikan supremasi cagar alam sebagai level tertinggi kawasan konservasi. Kampanye sadar kawasan adalah usaha untuk mengembalikan sakralitas cagar alam sebagai kawasan larang dalam konteks kultural. Dan kampanye sadar kawasan adalah usaha untuk mengambalikan wibawa, tuah kawasan cagar alam di dalam setiap kesadaran masyarakat terkait lingkungan hutan gunung dan totalitas alam di Nusantara, sehingga 2 kita manusia tidak hanya akan menikmatinya melainkan juga menghormatinya.13 


C.2. Beberapa Daftar Cagar Alam Kawasan Konservasi. 

CA Papandayan, CA Kamojang, CA Gunung Tilu, CA Burangrang, CA Tangkubanparahu, CA Malabar,CA Junghuhn (Yung Hun), CA Patengan , CA Gunung Simpang, CA Pulau Sempu, Cagar Alam GUNUNG ABANG; Pasuruan, 50,40 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 458/Kpts/ Um/7/78, 24 Juni 1978. Cagar Alam NUSA BARONG; Jember, 6.100,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/ Kpts-II/1999, 15 Juni 1999. Cagar Alam PULAU BAWEAN; Surabaya, 725,00 ha, Keputusan Menteri Pertanian RI Nomor: 762/Kpts/Um/12/1979, 5 Desember 1979. Cagar Alam BESOWO GADUNGAN; Kediri, 7,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/ Kpts-II/1999, 15 Juni 1999. Cagar Alam CEDING; Bondowoso, 2,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/Kpts-II/ 1999, 15 Juni 1999. Cagar Alam CORAH MANIS SEMPOLAN; Jember, 16,80 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999. Cagar Alam KAWAH IJEN MERAPI UNGGUP-UNGGUP; Banyuwangi, 2.468,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999. Cagar Alam JANGGANGAN REGOJAMPI I/II; Banyuwangi, 7,50 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999. Cagar Alam SUNGAI KOLBU IYANG PLATEU; Bondowoso, 18,80 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/Kpts-II/1999, 15 Juni 1999. Cagar Alam MANGGIS GADUNGAN; Kediri, 12,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/ KptsII/1999, 15 Juni 1999. Cagar Alam GUA NGLIRIP; Bojonegoro, 3,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/Kpts- 13 Ibid., halaman 81.3 II/1999, 15 Juni 1999. Cagar Alam PANCUR IJEN I/II; Bondowoso, 3,95 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/KptsII/1999, 15 Juni 1999. Cagar Alam GUNUNG PICIS; Ponorogo, 27,90 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/KptsII/1999, 15 Juni 1999. Cagar Alam SAOBI–KANGEAN; Sumenep (Madura), 430,00 ha, Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor: 417/KptsII/1999, 15 Juni 1999.4 

Daftar Pustaka 

Pepep DW. Sadar Kawasan. Bandung: Nusa Layaran Pustaka, 2020. 

Adriyanus Eryan, DKK. Arah Baru Kebijakan Penegak Hukum Konservasi, Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta Selatan: ICEL, 2019. 

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya

Diskusi dari Jalu Kancana.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Merdeka Atas Diri Sendiri!

KETIDAKPASTIAN HUKUM TERHADAP TENGGAT WAKTU PELAKSANAAN EKSEKUSI MATI DI INDONESIA.

KRISIS IKLIM: Kenaikan Muka Air Laut.